Pentingnya Memilih Pemimpin yang Tidak Syirik! Perspektif Aqidah Ahlusunnah
Pengantar: Ketika Kepemimpinan Menjadi Ujian Akidah
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemilihan pemimpin sering kali direduksi menjadi sekadar kontestasi popularitas, janji ekonomi, atau visi pembangunan semata. Namun, bagi seorang Muslim yang memegang teguh prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jama'ah, pilihan terhadap pemimpin bukan sekadar urusan duniawi, melainkan ujian fundamental terhadap komitmen tauhid dan keselamatan agama. Pernyataan Al-Hasan Al-Bashri, “Menerangkan keadaan ahlul bid'ah dan kefasikan orang yang berbuat fasik terang-terangan bukan perbuatan ghibah,” sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Lalika'i, memberikan konteks penting: bahwa menjelaskan penyimpangan akidah—termasuk dalam kepemimpinan—adalah bagian dari nasihat dan amar ma'ruf nahi mungkar, bukan sekadar adu domba politik. Tulisan ini akan menguraikan mengapa memilih pemimpin yang terbebas dari syirik dan khurafat merupakan keniscayaan agama, serta bahaya fatal jika prinsip ini diabaikan.
Syirik dan Khurafat: Kotoran Akidah yang Mematikan
Sebelum membahas kepemimpinan, penting untuk mendefinisikan musuh utama akidah: syirik dan khurafat. Secara singkat, khurafat adalah keyakinan, cerita, atau praktik takhayul yang disisipkan ke dalam agama tanpa dasar dalil yang sahih, seperti percaya pada hari sial, jimat, atau ritual di kuburan yang menyimpang. Sementara syirik—terutama syirik akbar—adalah menyekutukan Allah dalam hal yang menjadi kekhususan-Nya, seperti menyembelih untuk jin, meminta kepada kuburan, atau meyakini dukun bisa mengetahui yang ghaib tanpa izin Allah.
Kedua hal ini bukanlah kesalahan kecil. Rasulullah ﷺ dengan tegas menyatakan dalam hadits shahih, “Barangsiapa menggantungkan tamimah (jimat), sungguh ia telah berbuat syirik.” Syirik adalah dosa terbesar yang menghapuskan pahala dan—jika pelakunya mati tanpa taubat—menjadikannya kekal di neraka (QS. An-Nisa: 48). Oleh karena itu, membersihkan diri dan masyarakat dari syirik dan khurafat adalah inti dari dakwah tauhid.
Bahaya Memilih Pemimpin yang Terindikasi Syirik
Ketika seorang figur terindikasi secara eksplisit melakukan, mendukung, atau membiarkan syirik dan khurafat—baik melalui praktik pribadi, kebijakan, atau dukungan terhadap kelompok penyembah kubur dan perdukunan—maka memilihnya menjadi ancaman serius bagi akidah umat. Bahaya tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Mendukung dan Mengokohkan Kemaksiatan Terbesar
Memilih seorang pemimpin yang dikenal melakukan syirik sama dengan memberikan legitimasi kekuasaan dan suara untuk mendirikan kemaksiatan terbesar di muka bumi. Ini bertentangan langsung dengan prinsip al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri) yang mewajibkan seorang Muslim berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Loyalitas dalam Islam harus diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, bukan kepada pelaku syirik yang secara terang-terangan memerangi tauhid.
2. Menghalangi Penegakan Tauhid
Tugas utama pemimpin Muslim adalah menjadi pelindung dan penegak tauhid. Bagaimana mungkin seorang yang terlibat syirik dapat menjalankan fungsi ini? Justru, kepemimpinannya akan menjadi penghalang terbesar bagi dakwah tauhid. Ia akan membiarkan—bahkan mungkin menyuburkan—praktik bid’ah, khurafat, dan kesyirikan di tengah masyarakat. Dakwah kepada tauhid akan dihadapkan pada tembok kekuasaan yang melindungi kemusyrikan.
3. Mengundang Kemurkaan dan Azab Allah
Kepemimpinan adalah amanah dari Allah. Menyerahkan amanah ini kepada orang yang jelas-jelas memusuhi Allah dengan kesyirikannya adalah pengkhianatan yang dapat mendatangkan azab kolektif. Nabi ﷺ bersabda, “Tidaklah suatu kaum melakukan kemaksiatan, sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang lebih mampu menghentikannya, namun mereka tidak menghentikannya, melainkan Allah akan meratakan azab dari-Nya kepada mereka” (HR. Abu Dawud, hasan). Pemimpin pelaku syirik yang dibiarkan berkuasa adalah pintu bagi turunnya bencana dan kesengsaraan bagi seluruh rakyat.
4. Kerusakan Sistemik dalam Pemerintahan
Syirik dan khurafat adalah ibu dari segala kerusakan akal dan moral. Pemimpin yang percaya pada pertanda buruk (thiyarah), dukun, atau ramalan akan mengambil keputusan berdasarkan khayalan, bukan berdasarkan data, musyawarah, dan hukum syar’i. Kebijakan yang lahir dari pikiran syirik cenderung zalim, tidak adil, dan penuh ketidakjelasan, sehingga merusak tata kelola negara, ekonomi, dan keamanan.
5. Pertanggungjawaban di Akhirat
Setiap Muslim akan dimintai pertanggungjawaban atas suara dan dukungan yang diberikannya. Memberikan kekuasaan kepada pelaku syirik sama dengan ikut serta dalam memfasilitasi penyebaran kesyirikan. Ini adalah dosa yang tidak hanya berdampak duniawi, tetapi juga menjadi beban di hari perhitungan.
Prinsip Ahlusunnah dalam Memilih Pemimpin: Melampaui Popularitas Menuju Akidah
Berdasarkan penjelasan di atas, Ahlusunnah wal Jama’ah memiliki prinsip jelas dalam menilai calon pemimpin. Prinsip ini tidak didasarkan pada fanatisme kelompok, tetapi pada komitmen terhadap tauhid dan kemaslahatan umat. Berikut adalah kriteria utama:
1. Komitmen pada Tauhid dan Aqidah yang Benar
Pemimpin harus dikenal menjaga kemurnian tauhid, menjauhi syirik, bid’ah, dan khurafat. Rekam jejaknya dalam dakwah tauhid dan perlawanan terhadap kesyirikan menjadi indikator penting.
2. Penegakan Syariat Islam
Ia harus berusaha menegakkan hukum Islam dalam kebijakannya, sesuai dengan kemampuan dan konteks yang ada, serta tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan prinsip syariah.
3. Keadilan (Al-‘Adl)
Keadilan adalah fondasi kepemimpinan. Pemimpin harus adil kepada seluruh rakyat, tidak zalim, dan tidak memihak hanya pada kelompok tertentu.
4. Kapabilitas dan Amanah
Seperti perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, “Berilah aku kekuasaan, karena aku adalah penjaga yang berilmu” (QS. Yusuf: 55). Pemimpin harus kompeten, jujur, dan mampu mengelola urusan negara.
5. Menjaga Hubungan dengan Ulama Ahlusunnah
Pemimpin yang baik akan mendengarkan nasihat ulama yang berpegang pada manhaj salaf, bukan mengasingkan mereka atau berpaling kepada penasihat dari kalangan ahli bid’ah.
6. Menjaga Kemaslahatan Umat
Kebijakannya harus mengutamakan keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan rakyat, serta melindungi hak-hak minoritas non-Muslim sesuai ketentuan syariat.
Bukan Fanatisme, Tapi Kewajiban Agama
Menolak pemimpin pelaku syirik bukanlah bentuk fanatisme politik, melainkan fanatisme terhadap tauhid. Ini adalah bagian dari penerapan “La ilaha illallah,” yang menuntut penolakan terhadap segala sesembahan selain Allah, termasuk dalam bentuk loyalitas politik. Sementara, memilih pemimpin yang bertauhid adalah bentuk ketaatan kepada perintah Allah, “Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian” (QS. An-Nisa: 59). Taat kepada ulil amri hanya berlaku jika mereka tidak memerintahkan kemaksiatan.
Penutup: Kepemimpinan sebagai Cermin Aqidah Umat
Kisah Abu Dzar Al-Ghifari yang melakukan perjalanan berat dan penuh risiko hanya untuk menemui Rasulullah ﷺ dan mengikrarkan kalimat tauhid, mengajarkan bahwa komitmen pada kebenaran harus diutamakan atas segala pertimbangan duniawi. Demikian pula dalam memilih pemimpin, pertimbangan akidah harus menjadi yang utama. Masyarakat yang memilih pemimpin berdasarkan ketakutan, iming-iming materi, atau fanatisme kesukuan—sambil mengabaikan track record kesyirikannya—sebenarnya sedang menukar agama dengan dunia.
Oleh karena itu, setiap Muslim—terutama yang mengaku berpegang pada manhaj salaf—harus melakukan evaluasi mendalam terhadap calon pemimpin. Jika ditemukan indikasi eksplisit penyimpangan akidah seperti syirik dan khurafat, maka kewajiban agama adalah menolak dan memperingatkan umat darinya. Ini bukan ghibah, melainkan nasihat dan amar ma’ruf nahi mungkar, sebagaimana diajarkan oleh salafush shalih.
Memilih pemimpin yang bertauhid adalah investasi bagi keselamatan agama, keamanan negara, dan keberkahan hidup bersama. Sebaliknya, memilih pemimpin pelaku syirik adalah undangan bagi kerusakan, kehinaan, dan murka Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.
1 komentar untuk "Pentingnya Memilih Pemimpin yang Tidak Syirik! Perspektif Aqidah Ahlusunnah"
silahkan berkomentar