Mewaspadai Hilangnya Keistiqomahan

📜 Keistiqomahan dalam Menuntut Ilmu: 

Bahaya Mencari Guru yang Sempurna dan Menghindari Futur

Pendahuluan: Ujian Keistiqomahan dalam Perjalanan Ilmu

Perjalanan menuntut ilmu adalah sebuah maraton panjang, bukan sekadar lari cepat. Ia menuntut bukan hanya kecerdasan dan waktu, tetapi yang terpenting, keistiqomahan—keteguhan hati, konsistensi, dan kesabaran yang tak putus. Dalam lingkungan pendidikan Islam, khususnya di pondok pesantren, semangat yang menurun atau terputusnya dari menuntut ilmu dikenal dengan istilah futur atau loyo. Futur adalah musuh utama bagi setiap penuntut ilmu, karena ia menggerogoti niat, melemahkan tekad, dan akhirnya, menyebabkan seseorang terhenti di tengah jalan.


Salah satu jebakan halus yang sering menjangkiti para penuntut ilmu baru, atau bahkan yang sudah lama, adalah mencari "guru yang sempurna." Ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap kesucian, pengetahuan, dan metode seorang guru bisa menjadi salah satu faktor terbesar yang menyebabkan hilangnya keistiqomahan. Status yang dinukilkan oleh El Fata dengan indah merangkum poin krusial ini.


🚫 Jebakan Ekspektasi: Faktor Terputusnya dari Ilmu

El Fata menulis:

Diantara faktor yang menyebabkan seseorang berhenti dan terputus dari menuntut ilmu adalah karena mencari guru yang sempurna. Kesempurnaan tidak akan kamu temukan kecuali pada deretan ulama teratas, yakni ulama besar yang benar-benar telah dalam ilmunya. Sementara, ulama seperti mereka tidak mesti punya kesempatan untuk mengajari setiap orang yang hendak menuntut ilmu.

Pernyataan ini adalah sebuah alarm yang sangat penting. Ketika seseorang memulai pencarian ilmu dengan standar kesempurnaan yang mutlak pada sosok guru, ia sedang menanam benih kekecewaan yang cepat atau lambat akan berbuah keputusasaan.

Mengapa ekspektasi kesempurnaan pada guru menjadi penghalang keistiqomahan?

  1. Realisme yang Hilang: Manusia, termasuk para guru dan ulama, adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan. Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya menetapkan kesempurnaan bagi diri-Nya dan pada diri para Nabi yang ma'shum (terjaga dari dosa besar) dalam penyampaian risalah. Mengharapkan seorang guru memiliki pengetahuan yang sempurna, akhlak yang tanpa cacat, dan metode pengajaran yang tanpa cela adalah utopia.

  2. Fokus yang Berubah: Fokus penuntut ilmu seharusnya adalah pada ilmu itu sendiri dan manfaat yang bisa diambil. Ketika seseorang sibuk mengamati dan mencari-cari kekurangan pribadi sang guru, fokusnya beralih dari menyerap kebenaran menjadi mencari-cari kesalahan. Hal ini melemahkan adab (etika) terhadap guru dan pada akhirnya merusak keberkahan ilmu yang ia peroleh.

  3. Kesempatan yang Terbuang: Ulama besar yang ilmunya dalam dan diakui kesempurnaannya memang ada, tetapi seperti yang Al Fata sebutkan, mereka tidak mungkin punya waktu untuk mengajar setiap orang. Jika kita hanya mau belajar dari yang "sempurna," kita akan kehilangan kesempatan belajar dari ulama atau guru yang ilmunya bermanfaat, meskipun mereka tidak luput dari kekurangan.


💡 Prinsip dalam Mengambil Ilmu: Mengutamakan Kebenaran

Jika guru yang sempurna itu hampir tidak ada, lantas bagaimana seorang penuntut ilmu harus bersikap agar keistiqomahan tetap terjaga? Jawabannya terletak pada cara pandang yang selektif dan beretika dalam menyaring ilmu.

El Fata melanjutkan dengan memberikan panduan praktis:

Karena itu, hendaknya kamu mengambil apa yang benar dari apa-apa yang diajarkan oleh seorang guru selama dia dipercaya oleh para penuntut ilmu, karena cara penyampaian dan pemaparannya bagus, benarnya lebih banyak dari salahnya, atau kesalahannya terhitung sedikit. Ambillah darinya apa yang benar. Adapun kesalahannya, tunjukkanlah kepadanya dengan adab yang baik hingga dia menyadarinya.

Ini adalah kaidah emas dalam berinteraksi dengan ilmu dan ulama:

  • Pilih Guru yang Terpercaya: Kriteria utama adalah kepercayaan dari komunitas penuntut ilmu (thalabul 'ilmi). Ini mencakup pengajaran yang bagus, pemaparan yang jelas, dan yang paling penting, konten ajarannya yang secara umum benar dan selaras dengan syariat.

  • Selektivitas yang Bijak: Ambil yang benar (al-haq). Jika benarnya lebih banyak daripada salahnya, maka ambillah ilmu darinya. Ini adalah prinsip yang diajarkan oleh para ulama salaf, bahwa hikmah (kebenaran) adalah barang hilang milik seorang mukmin, di mana pun ia menemukannya, ia berhak mengambilnya.

  • Adab dalam Koreksi: Jika ditemukan kesalahan, seorang penuntut ilmu tidak boleh langsung mencela atau menyebarkan aib. Justru, keistiqomahan menuntut adanya adab yang tinggi. Tunjukkanlah kesalahan itu kepadanya dengan cara yang paling baik dan beradab. Hal ini menjaga kehormatan guru, sekaligus memberikan kesempatan baginya untuk introspeksi dan kembali kepada kebenaran.


👂 Nasihat Ulama: Realisme dan Keadilan

Prinsip ini diperkuat oleh nasihat dari ulama besar, Asy Syaikh Muqbil ibnu Hadi Al Wadi’iy rahimahullah:

Asy Syaikh Muqbil ibnu Hadi Al Wadi’iy rahimahullah menyatakan, “Sesungguhnya kami tidak menuntut ulama kita untuk menjadi seperti malaikat yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla. Tidak ada seorang ulama pun di dunia ini kecuali ada benarnya dan ada salahnya. Dia mengetahui banyak perkara dan tidak mengetahui beberapa perkara. Apabila seorang guru benarnya lebih banyak daripada salahnya, ambillah ilmu darinya.”

Nasihat ini mengandung dua poin fundamental untuk menjaga keistiqomahan:

  1. Pengakuan atas Fitrah Manusia: Mengakui bahwa ulama bukanlah malaikat. Mereka dapat berbuat salah, memiliki keterbatasan ilmu, dan kadang luput dari pengamatan. Menerima kenyataan ini mencegah terjadinya futur yang disebabkan oleh idealisme yang rusak.

  2. Prinsip Mayoritas: Selama sisi kebenaran (ash-shawab) dalam pengajaran seorang guru jauh lebih dominan daripada kesalahannya (al-khatha'), maka ilmu darinya tetap sah dan bermanfaat untuk diambil. Ini adalah prinsip keadilan (al-inshaf) dalam menilai seseorang.

Jika seorang penuntut ilmu mampu menerapkan pandangan yang adil ini, ia tidak akan mudah meninggalkan guru atau majelis ilmu hanya karena satu atau dua kekhilafan kecil. Dengan demikian, keistiqomahan dalam belajar akan terus terpelihara.


📝 Bait Syair: Pengingat Universalitas Kekurangan

Untuk membumikan pandangan realis ini, Al Akh El Fata menutupnya dengan dua bait syair yang sangat mendalam:

Disebutkan dalam sebuah bait syair, و من ذا الذي ترضى سجاياه كلها. كفى بالمرء نبلا أن تعد معايبه. “Dan siapakah yang akan diridhai seluruh perbuatannya?! Cukuplah sebagai kemuliaan bagi seseorang jika aibnya bisa dihitung.”

Disebutkan dalam bait syair yang lain, و من ذا الذي ما ساء قط. و من له الحسنى فقط. “Dan siapakah yang tidak pernah bersalah sama sekali?! Dan siapakah yang padanya hanya kebaikan saja?!”

Bait-bait syair ini menegaskan universalitas kekurangan dan keterbatasan pada diri manusia. Jika mencari seseorang yang seluruh perilakunya diridhai adalah hal yang mustahil, maka mencari guru yang seluruhnya sempurna dalam ilmu, amal, dan akhlak juga mustahil.

Pesan utamanya adalah: terima kekurangan sebagai bagian dari fitrah manusia dan fokus pada kebaikan serta manfaat yang bisa diambil. "Cukuplah sebagai kemuliaan bagi seseorang jika aibnya bisa dihitung" — artinya, jika aib atau kekurangan seorang guru terhitung sedikit dan tidak substansial, maka itu sudah merupakan kemuliaan yang patut dihargai, bukan dicela.


Penutup: Menjaga Api Keistiqomahan dan Menghindari Futur

Keistiqomahan dalam menuntut ilmu adalah fondasi kesuksesan seorang pelajar. Ia adalah benteng yang melindungi dari futur dan keputusasaan. Salah satu cara terbesar untuk menghancurkan benteng ini adalah dengan menetapkan standar idealisme yang tidak realistis pada sosok guru.

Status dari Al Akh El Fata yang dinukil dari terjemahan Asbabuts Tsabat ‘ala Thalabil ‘Ilmi karya Asy Syaikh Shalih ibn ‘Abdil ‘Aziz Alu Syaikh memberikan solusi:

  1. Ubah Fokus: Jangan fokus pada mencari kesempurnaan pada guru, tetapi fokus pada mencari kebenaran (al-haq) dan mengambil manfaat.

  2. Terapkan Prinsip Keadilan: Nilailah guru berdasarkan mayoritas ajarannya. Selama benarnya lebih banyak, ambillah ilmunya.

  3. Jaga Adab: Koreksi jika perlu, tetapi dengan adab yang baik dan hanya kepada yang bersangkutan.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, seorang penuntut ilmu akan mampu memandang ulama dan guru secara proporsional. Ia akan mampu mengambil ilmu dari berbagai sumber terpercaya tanpa harus terhenti ketika menemukan kekurangan yang wajar pada diri seorang manusia. Inilah kunci untuk menjaga semangat, melawan futur, dan mempertahankan keistiqomahan hingga akhir hayat. Ilmu yang dicari dengan adab dan konsistensi niscaya akan menjadi cahaya yang bermanfaat bagi diri sendiri dan umat.

Posting Komentar untuk "Mewaspadai Hilangnya Keistiqomahan"