Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terjebak simbol-simbol semata

Apakah selera makan kelihatan? Maksudnya selera makan itu sendiri, bukan orang yang sedang berselera untuk makan yang nampak dari lahapnya atau semangatnya untuk makan.
Iya, selera adalah suatu yang tak nampak, rasa tidaklah kelihatan.

Bisakah seseorang kehilangan selera makan meskipun makanan kesukaannya telah tersedia di hadapannya? Bukankah jawabannya adalah iya, jenis makanan yang seseorang sangat berselera padanya atau makanan yang disukai juga bisa tidak ada atau tak tersedia, namun ada tidaknya makanan adalah nampak atau tidak nampak, berbeda dengan selera atau rasa, hal itu tidak kelihatan secara dzahir.

Maka bagaimana jika seseorang sekedar mementingkan yang nampak secara dzahirnya saja, atau hanya terjebak pada simbol-simbol belaka?

Bukan maksudnya dikatakan bahwa yang nampak tidaklah penting atau semakna dengan orang yang membela diri dari suatu kesalahan dengan 'memamerkan kebaikan' dari yang tidak nampak padahal mungkin sebenarnya bukan kebaikan namun dia kira sebagai kebaikan yang ada pada dirinya, yaitu kalimat 'yang penting kan hatinya/niatnya' atau yang semakna.

Bukan itu, bukan menganggap satu tidak berharga dibanding yang lain, namun jika suatu keadaan hanya menggiatkan satu sisi saja sementara sisi lain tidak diperhatikan yang bahkan sisi lain itu merupakan ruh yang menggerakan jazad, raja yang tak nampak yang menggerakan pasukan yang nampak.

Hal-hal itu mungkin dalam beberapa contoh keadaan:
‪#‎mungkin‬ seseorang akan marah jika ada orang lain masuk rumahnya lalu mempengaruhi anak-anaknya atau mendidik anaknya dengan kebiasaan jelek atau sifat jelek, namun mungkin tidak marah bahkan dia sendiri yang membawa sebuah benda bernama televisi dan memilih acara-acara yang sebenarnya mendidik/mengarahkan anak pada kejelekan. Dia hanya melihat sebuah dzahir yang nampak sedang dzahir yang lain yang membawa hakikat sama, yaitu sama-sama mempengaruhi hati dia tidak sadari.

‪#‎Seseorang‬ atau kelompok yang telah sangat fanatiknya pada kelompoknya yang dianggap madzhabnya sampai mengira bahwa shalat tarawih harus 23 rekaat atau merupakan persentasi dari madzhab itu sedang 11 atau jumlah yang lainnya adalah salah. Maka bagaimanapun mesti 23 rekaat, walaupun harus ngebut atau kehilangan tuma’ninah padahal mungkin jika dengan 11 rekaat bisa lebih tuma’ninah dan bukankah juga ada riwayat shalih untuk jumlah rekaat itu yang dicontohkan Nabi Shollallohu’alaihi wa Sallam untuk sholat malam. Maka mungkin hanya mementingkan dzahir yang dianggap bahwa kelompoknya harus begitu membawanya terjebak pada symbol semata.

# Seseorang atau banyak orang dari suatu kelompok menganggap bahwa yang dinamakan dzikir adalah harus yang bersama-sama/jama’i dengan suara keras dan dia menganggap keadaan sendirian atau tanpa suara yang didengar orang lain bukanlah dzikir maka akhirnya dia atau banyak orang itu kehilangan banyak kesempatan dzikir dengan wirid yang tidak keras atau kesempatan untuk mengingat-Nya ketika sendiri atau bahkan ketika dzikir berjama’ah kebanyakan mereka hanya terjebak simbol-simbol semata, suara keras atau melafadzkan suatu yang telah biasa namun hatinya tiada sama sekali ingat pada-Nya tapi mungkin tersibukan dengan pikiran kerjaan.

‪#‎Seorang‬ atau kelompok orang berpikir bahwa jumlah umat Islam yang sangat besar merupaan potensi yang sangat besar untuk diberdayakan, dari sisi financial atau sebagai kekuatan politik penentu kebijakan namun ketika itu melupakan bahwa tanpa berstunya hati-hati mereka itu semua hanyalah banyaknya badan-badan atau bersatunya badan tidaklah berarti tanpa bersatunya hati-hati mereka.

‪#‎Jika‬ ada yang mau menambahkan faidah dari ‘Hati adalah raja sedang anggota tubuh adalah bala tentaranya’

Wallahu a'lam

Posting Komentar untuk "Terjebak simbol-simbol semata"