Mengapa Pasien yang Meninggal di Rumah Sakit Indonesia Diistilahkan “Plus (+)”? Asal-Usul, Sejarah, dan Perspektif Islam
Dalam masyarakat Indonesia, khususnya dalam lingkungan pelayanan kesehatan, kita sering mendengar istilah “pasiennya sudah plus (+)” sebagai tanda bahwa seseorang telah meninggal dunia. Istilah ini terdengar sangat umum di kalangan tenaga medis, petugas ambulans, maupun masyarakat awam yang sering berurusan dengan rumah sakit.
Namun, sedikit sekali yang mengetahui dari mana asal kata “plus” itu dan mengapa ia digunakan sebagai penanda seseorang telah wafat. Menariknya, istilah ini sebenarnya bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari tradisi kolonial yang diwariskan sejak zaman penjajahan Belanda.
Artikel ini akan membahas:
-
sejarah kemunculan istilah “plus (+)”
-
kaitannya dengan simbol salib
-
bagaimana istilah itu akhirnya menyebar ke rumah sakit Indonesia
-
pandangan dalam perspektif Islam
-
serta alternatif istilah yang lebih tepat dan netral
1. Latar Belakang Sejarah: Akar dari Masa Kolonial Belanda
Untuk memahami istilah “plus (+)” sebagai penanda kematian, kita perlu melihat kembali sejarah rumah sakit di Indonesia. Pada masa kolonial, banyak fasilitas kesehatan didirikan oleh pihak Belanda. Saat itu, tenaga medis seperti dokter, perawat, dan mantri kesehatan mayoritas berasal dari orang-orang Eropa, terutama Belanda yang beragama Kristen.
Dalam tradisi Eropa, khususnya di lingkungan Kristen, simbol “cross” atau tanda salib (+) adalah simbol utama yang digunakan untuk:
-
menandai makam
-
menandai catatan orang yang meninggal
-
memberi tanda pada dokumen kematian
-
atau sebagai identifikasi umat Kristiani yang telah wafat
Ketika orang Belanda membuat catatan medis, mereka menyimbolkan kematian dengan tanda "+" yang melambangkan salib, bukan tanda plus matematika.
Simbol inilah yang kemudian masuk ke dalam sistem pencatatan medis di Indonesia. Akhirnya, tenaga medis lokal yang bekerja bersama orang Belanda pun ikut mengenal bahwa tanda "+” berarti meninggal.
2. Dari “Cross (+)” Menjadi “Plus”: Pergeseran Makna dalam Bahasa Lisan
Pada mulanya, simbol “+” hanyalah lambang pada tulisan. Namun karena bentuknya sama seperti tanda plus dalam matematika, masyarakat Indonesia kemudian membacanya sebagai “plus”.
Padahal, dalam sejarahnya, itu adalah cross (salib), bukan plus.
Karena sering didengar dan dipakai secara praktis, istilah ini akhirnya berubah menjadi bahasa lisan:
-
“Pasiennya sudah plus ya?”
-
“Yang di ruangan itu tadi plus.”
-
“Korban ditemukan dalam keadaan plus.”
Pergeseran makna ini terjadi secara natural karena:
-
kemiripan bentuk simbol
-
proses penyerapan bahasa
-
kebiasaan lisan tenaga medis atau relawan
-
dan berlangsungnya tradisi selama puluhan tahun
Sampai hari ini, di banyak rumah sakit Indonesia, istilah “plus” masih digunakan tanpa mempertimbangkan asal-usulnya.
3. Apakah Istilah Ini Dipakai di Luar Negeri?
Di beberapa negara, terutama negara Barat, simbol salib (+) masih lazim digunakan dalam catatan medis lama untuk menandai kematian. Namun istilah “plus” sebagai kata tidak dipakai dalam percakapan mereka.
Di dunia medis internasional, istilah yang dipakai adalah:
-
Deceased (wafat)
-
DoA – Dead on Arrival (meninggal saat tiba)
-
Expired (istri paparan medis yang berarti meninggal)
-
Death (kematian)
Sedangkan simbol resmi yang digunakan biasanya:
-
tanda bintang * untuk tanggal lahir
-
tanda salib † untuk tanggal kematian (namun ini lebih lazim di dokumen umum, bukan medis)
Karena itu, kebiasaan menyebut “plus” tampaknya fenomena khas Indonesia, yang dipengaruhi warisan administrasi kolonial Belanda.
4. Perspektif Islam: Menghindari Tasyabbuh Jika Ada Alternatif
Meskipun istilah “plus” sudah menjadi kebiasaan lama, sebagian umat Islam merasa kurang nyaman ketika mengetahui bahwa simbol tersebut berasal dari cross (salib), yang merupakan simbol khusus umat Kristiani.
Dalam Islam, ada prinsip untuk menghindari tasyabbuh (menyerupai ciri khas agama lain), terutama dalam hal simbol ibadah atau tanda-tanda khas ajaran tertentu.
Maka sebagian ulama dan guru agama menyarankan:
Jika memungkinkan, gunakan istilah yang netral, bukan simbol keagamaan.
Islam sendiri sudah menyediakan istilah yang sangat baik dan penuh penghormatan, seperti:
-
wafat
-
meninggal dunia
-
berpulang
Karena itu, lebih tepat menggunakan ungkapan yang baik dan sopan, bukan istilah yang asal-usulnya terkait agama lain.
Namun, perlu dicatat:
-
penggunaan “plus” dalam rumah sakit hari ini umumnya tidak diniatkan sebagai simbol keagamaan, melainkan sekadar kebiasaan administrasi.
-
tasyabbuh dihitung bila ada unsur meniru secara sadar atau sengaja terhadap syiar agama lain.
Meski begitu, sebagai bentuk kehati-hatian dan adab, menghindari istilah tersebut tentu lebih baik, apalagi bila ada istilah yang lebih sopan dan Islami.
5. Mengapa Sebaiknya Kita Mengucapkan “Meninggal” Saja?
Ada beberapa alasan mengapa istilah “meninggal” lebih baik digunakan:
1. Lebih jelas dan tidak menimbulkan salah paham
Tidak semua orang mengerti maksud “plus”.
Namun semua orang memahami kata “meninggal”.
2. Lebih sopan dan penuh penghormatan
Kematian adalah hal yang sakral. Menggunakan istilah alami jauh lebih layak.
3. Terhindar dari tasyabbuh
Meski tidak disengaja, sebaiknya menghindari istilah yang berasal dari simbol ibadah agama lain.
4. Bahasa ilmiah dan administratif sudah memiliki istilah baku
Rumah sakit sebenarnya punya terminologi resmi, misalnya:
-
pasien meninggal dunia
-
status: deceased
-
time of death (ToD)
-
almarhum/almarhumah
Jadi penggunaan kata plus sebenarnya tidak diperlukan lagi dalam konteks profesional.
6. Kesimpulan: Perbaiki Istilah, Luruskan Kebiasaan
Istilah “plus (+)” sebagai tanda orang meninggal di rumah sakit Indonesia merupakan warisan kolonial yang berasal dari simbol cross milik tradisi Kristen Belanda. Dulu, para tenaga medis Belanda menandai kematian dengan simbol itu, lalu lambat-laun istilah ini diserap menjadi bahasa lisan masyarakat Indonesia.
Namun kini, ketika asal-usulnya sudah diketahui, lebih baik kita:
-
memakai istilah meninggal atau wafat
-
menghindari penggunaan simbol yang memiliki latar keagamaan tertentu
-
menggunakan bahasa yang lebih jelas, sopan, dan sesuai adab Islam
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita.
Barakallahu fiikum.

Posting Komentar untuk "Mengapa Pasien yang Meninggal di Rumah Sakit Indonesia Diistilahkan “Plus (+)”? Asal-Usul, Sejarah, dan Perspektif Islam"
silahkan berkomentar