Arti Kata Ghosting, Pengertiannya, dan Konsekuensi Hukumnya

Apa Itu Ghosting? Memahami Fenomena “Menghilang Seperti Hantu” dan Cara Menjaga Hati Agar Tidak Berlebihan Mencintai Manusia

Istilah ghosting mungkin sudah sangat akrab di telinga kita. Dalam beberapa tahun terakhir, kata ini seolah menjadi bagian dari kosakata pergaulan anak muda. Banyak orang mengalaminya, sebagian mengeluh sakit hati karenanya, dan tidak sedikit pula yang tanpa sadar justru menjadi pelakunya. Namun sebenarnya, apa itu ghosting? Mengapa istilah ini begitu viral? Dan yang tak kalah penting: bagaimana seharusnya kita menyikapi hubungan agar tidak terlalu menggantungkan hati kepada manusia, melainkan kepada Allah semata?

Artikel ini akan membahas fenomena ghosting secara ringan, edukatif, serta memberikan nasihat penuh empati agar kita tetap bijak dalam menyukai atau mencintai seseorang.


Apa Itu Ghosting?

Secara bahasa Inggris, kata ghost berarti hantu. Dari sini muncul kata ghosting, yang secara hurufiah dapat berarti menghilang seperti hantu. Dalam bahasa Inggris sendiri, istilah ghosting memiliki dua makna:

  1. The appearance of a spirit or secondary image pada layar televisi atau tampilan visual—suatu efek bayangan yang muncul akibat gangguan sinyal.

  2. The practice of ending a personal relationship by suddenly withdrawing from all communication—praktik mengakhiri hubungan personal dengan cara tiba-tiba berhenti berkomunikasi tanpa penjelasan.

Dalam bahasa Indonesia, sebenarnya tidak ada istilah budaya yang benar-benar setara. Kita mengenal kata “menghilang”, “kabur”, atau “mendadak tak ada kabar”, namun nuansa emosional ghosting dalam konteks modern jauh lebih spesifik: yaitu mengakhiri hubungan atau pendekatan secara sepihak, tanpa pamit, tanpa alasan, dan tanpa tanggung jawab.


Ghosting dalam Bahasa Indonesia

Karena tidak memiliki padanan budaya langsung, kita kemudian meminjam kata ghosting apa adanya. Sebagian orang menyebutnya “menghilang tiba-tiba bak hantu”. Perilaku ini biasanya terjadi pada hubungan yang sudah dibangun cukup intens, entah dalam fase PDKT, pacaran, atau komunikasi dekat emosional lainnya. Ciri-cirinya antara lain:

  • Tidak membalas pesan tiba-tiba

  • Mengabaikan telepon

  • Menghapus atau memblokir kontak

  • Menghindar di dunia nyata maupun maya

  • Tidak memberi penjelasan apapun

Dalam dunia percintaan, hal ini bisa sangat menyakitkan. Kita bertanya-tanya apa salah kita, merasa tidak cukup, atau bahkan menyalahkan diri sendiri. Padahal, ghosting lebih mencerminkan ketidakmatangan emosional atau ketidaksiapan seseorang untuk berkomitmen, bukan tentang harga diri orang yang ditinggalkan.


Mengapa Istilah Ghosting Bisa Viral?

Kehidupan digital membuat komunikasi menjadi lebih mudah, tetapi sekaligus lebih rapuh. Media sosial, aplikasi pesan instan, dan budaya interaksi cepat menciptakan ilusi kedekatan. Kita bisa merasa dekat dengan seseorang tanpa pernah benar-benar mengenalnya.

Fenomena ghosting menjadi viral setidaknya karena beberapa faktor:

1. Kemudahan untuk “menghilang” di era digital

Cukup dengan tidak membalas atau memblokir, seseorang bisa melepas tanggung jawab emosionalnya. Tidak perlu tatap muka, tidak ada konfrontasi, tidak ada penjelasan.

2. Media sosial yang memperbesar drama percintaan

Konten tentang kisah ghosting sering menjadi bahan cerita, curhatan, meme, bahkan thread viral. Media menyukai hal-hal emosional yang mudah menarik atensi—dan ghosting adalah salah satunya.

3. Banyaknya orang yang pernah mengalaminya

Karena banyak korban (dan pelaku), istilah ini cepat meresap menjadi istilah populer.

4. Dinamika hubungan modern yang serba instan

Ketika kedekatan dibangun terlalu cepat, tak heran jika bubarnya juga cepat. Ghosting menjadi simbol hubungan tanpa komitmen.

Fenomena ini memang viral, tetapi bukan karena hal-hal positif. Ghosting menandakan masalah komunikasi, ketidakdewasaan, dan ketidaksiapan menjalin hubungan yang sehat.


Makna “Bayang-bayang” dan Akar Budaya Ghosting

Menariknya, sebagian orang menerjemahkan ghosting secara letterlijk sebagai “bayang-bayang”. Dalam dunia fotografi analog, ghosting adalah efek visual berupa bayangan ganda yang muncul karena film digunakan berulang atau tercampur paparan cahaya sebelumnya. Efek ini dianggap mengganggu hasil foto yang seharusnya bersih.

Analogi ini pas sekali dengan ghosting dalam hubungan. Orang yang menghilang tiba-tiba meninggalkan “bayangan” emosional—pertanyaan yang menggantung, rasa bersalah, atau luka yang tak dijelaskan. Sama seperti bayang-bayang pada foto, kehadirannya samar tetapi tetap memengaruhi hasil akhir.


Mengapa Orang Melakukan Ghosting?

Tidak semua pelaku ghosting berniat jahat. Namun, tetap saja, perilaku ini tidak sehat. Beberapa alasan umum seseorang melakukan ghosting antara lain:

  • Takut konflik

  • Tidak tahu bagaimana memberi penjelasan

  • Tidak ingin terlihat sebagai “orang jahat”

  • Kehilangan minat namun tidak berani mengungkapkan

  • Merasa hubungan terlalu cepat atau menekan

  • Memang tidak serius dari awal

  • Menganggap PDKT hanya main-main

Meski alasannya beragam, ghosting tetap merupakan tindakan yang tidak menghargai perasaan orang lain. Jika seseorang sudah mendekati, memberi harapan, memberi perhatian, lalu tiba-tiba hilang, itu adalah bentuk ketidaksigapan emosional dan kelemahan dalam komunikasi.


Ghosting Adalah Perilaku yang Perlu Dikritik

Dalam konteks budaya kita, PDKT yang serius seharusnya menuju sesuatu yang baik: niat baik, komitmen, atau bahkan menjajaki ke jenjang yang lebih serius. Jika seseorang sudah menunjukkan ketertarikan, mengambil waktu Anda, memancing perasaan Anda, lalu tiba-tiba hilang tanpa penjelasan, tentu ini adalah perilaku yang layak dikritik.

Bahkan, sebagaimana disebutkan dalam permintaan Anda, mengajak ke arah pacaran saja sudah tidak dianjurkan (bahkan haram dalam pandangan agama). Ketika seseorang mendekati lalu menghilang tanpa tanggung jawab, ia tidak hanya melukai hati, tetapi juga mempermainkan perasaan. Bukan sikap seorang gentleman yang baik dan berakhlak.

Jika seseorang benar-benar berniat baik, cara menghilang yang benar adalah:
menghilang menuju rumah orang tua untuk melamar, bukan menghilang dari chat dan kehidupan orang yang ia dekati.


Nasihat: Jangan Berlebihan Menyukai Seseorang, Karena Ketergantungan Hanya Pantas Pada Allah

Fenomena ghosting sebenarnya mengajarkan satu pelajaran penting dalam hidup: jangan pernah menggantungkan hati secara berlebihan kepada manusia.

1. Manusia Bersifat Lemah dan Tidak Konsisten

Manusia bisa berubah. Hari ini sayang, besok hilang. Hari ini perhatian, besok tiba-tiba tidak peduli. Hari ini janji, besok ingkar. Karena manusia bukan pemilik hati, bukan penguasa takdir, dan bukan pihak yang bisa menjamin ketetapan.

2. Hanya Allah Tempat Bergantung

Dalam Islam, kita diajarkan tawakkal, yaitu menggantungkan harapan tertinggi hanya kepada Allah. Ketika kita terlalu menaruh harapan pada manusia, kekecewaan mudah datang. Tapi ketika kita menaruh hati kepada Allah, kita siap menerima takdir dengan lapang.

3. Mencintai Tanpa Berlebihan Menyelamatkan Hati

Mencintai itu boleh, menyukai seseorang pun manusiawi. Tetapi berlebihan—hingga menjadikannya pusat kebahagiaan, sumber harapan utama, atau sandaran emosional total—justru akan menyakiti diri sendiri.

Imam Ali r.a pernah berpesan:
“Jangan terlalu mencintai seseorang, karena bisa jadi kelak ia menjadi orang yang kamu benci. Dan jangan terlalu membenci seseorang, karena bisa jadi kelak ia menjadi orang yang kamu cintai.”

Ini mengajarkan keseimbangan. Cinta harus disandarkan pada nilai, bukan pada obsesi.

4. Jika Dighosting, Itu Bukan Akhir Dunia

Ghosting terkadang adalah perlindungan dari Allah.
Barangkali orang itu tidak baik untuk Anda.
Barangkali Allah sedang menyingkirkan seseorang yang tidak layak sebelum ia melukai Anda lebih dalam.
Barangkali Allah ingin Anda belajar bahwa cinta manusia tidak pernah seteguh cinta-Nya.


Bagaimana Menjaga Hati Agar Tidak Terlalu Bergantung?

Berikut beberapa langkah praktis:

  1. Bangun batasan diri sejak awal
    Jangan menyerahkan waktu, perhatian, dan perasaan secara berlebihan saat PDKT.

  2. Kenali nilai diri
    Anda layak diperlakukan dengan hormat, bukan digantung.

  3. Prioritaskan hubungan dengan Allah
    Hati yang dekat dengan Allah lebih kuat menghadapi kehilangan.

  4. Hadirkan logika di samping perasaan
    Kedekatan emosional sering membuat kita buta. Seimbangkan dengan akal sehat.

  5. Percaya bahwa jodoh tidak akan tersesat
    Apa yang ditetapkan untuk Anda tidak akan lari. Yang lari, artinya bukan untuk Anda.


Penutup: Ghosting Bukan Akhir, Justru Awal untuk Lebih Bijak

Ghosting memang menyakitkan, tetapi bukan kiamat. Ini hanyalah bagian kecil dari proses pendewasaan emosional. Jika Anda pernah dighosting, ketahuilah: Anda tidak kurang. Anda tidak gagal. Anda hanya bertemu seseorang yang belum siap, tidak tepat, atau tidak bertanggung jawab.

Yang terpenting, jangan pernah memberi hati Anda sebegitu rupa kepada manusia sampai Anda lupa bahwa hanya Allah tempat bergantung yang sejati. Menyayangi itu fitrah, namun menjadikan seseorang sebagai pusat hidup adalah kesalahan. Dengan menempatkan cinta kepada Allah sebagai cinta tertinggi, kita akan lebih kuat menghadapi kepergian, kehilangan, dan pengkhianatan.

Semoga artikel ini memberi pemahaman, ketenangan, dan perspektif baru bagi Anda. 



Posting Komentar untuk "Arti Kata Ghosting, Pengertiannya, dan Konsekuensi Hukumnya"